Senin, 17 Desember 2012

Optimalisasi Zakat



“Dan dirikanlah salat dan tunaikan zakat” (Q.S 2:43)

Oleh Allah zakat disebut dalam al-Qur’an sebanyak 30 kali, 27 di antaranya berhubungan dengan salat. Hal ini menunjukkan urgensitas zakat.

Abu Bakar As-Shiddiq ra. berani mengambil keputusan memerangi mereka yang menahan zakat. dikala sahabat lainnya diam. Kalaulah bukan karena posisi zakat. Beliau tak akan memutuskan demikian.

Kewajiban zakat yang beriringan dengan salat memiliki karakteristik yang sama. Yaitu sebagai ibadah yang ‘wajibnya’ disepakati oleh kaum muslimin. Di samping itu ia mempunyai dimensi sosial sebagaimana salat berjama’ah, yaitu menumbuhkan semangat kesatuan dan solidaritas sosial.

Sebenarnya, yang diinginkan Islam adalah agar kekayaan dan sumber daya alam terkumpul dalam satu tempat dalam tatanan sosial. Tak selayaknya bagi mereka yang memperoleh kelapangan ”karena nasib baik” di atas kebutuhan mereka, kemudian puas menumpuk dan menyimpannya. Semestinya mereka berpikir, mengapa ada di antara mereka yang giat bekerja namun karena kurang baik nasibnya, mereka kekurangan. Mereka perlu uluran tangan. Karena seseorang merupakan unsur dari sebuah tatanan sosial. Pun seseorang bisa disebut kaya karena ada fakir dan miskin.

Tatanan sosial dalam suatu komunitas, ibaratnya bagai sebuah bejana berhubungan. Jika suatu bagian naik, maka seyogyanya bagian yang rendah bisa naik. Jalur hubungan antar anggota masyarakat tersebut di antaranya zakat, di samping ada pintu-pintu pendukung, seperti sedekah, hadiah, hibah dan lain-lain.

Terbukti sistem kapitalis-materialis hanya sebagai jagal strata bawah. Karena hanya akan memunculkan jurang diskriminasi. Si kaya makin kaya, sedang si miskin makin tercekik dengan bunga hutang yang berlipat dari aslinya. Demikian juga sosialis yang terlalu generalis, menyamaratakan kekayaan dan merampas kepemilikan individu adalah ‘perampokan’ yang berbahasa halus. Di samping merupakan idealisme yang berlawanan dengan fitrah manusia. Perampokan, pencurian, dan pembunuhan merupakan bukti hilangnya kontrol dan keseimbangan tatanan sosial dalam komunitas masyarakat.

Pendidikan dan pembinaan Allah terhadap kaum muslimin lewat zakat bukan hanya berdimensi sosial tapi juga berdimensi spiritual atau mental berupa pembersih jiwa (Q.S al-Taubah:103) juga berdimensi latihan administrasi dan pemerataan harta zakat (Q.S al-Taubah:60).

Sedikit, kita coba merenungi firman Allah Q.S Ali Imran:180. “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil (pelit) dengan harta mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Sungguh, apa yang membuat mereka bakhil? Tak lain adalah sebuah kekhawatiran; jangan-jangan harta mereka akan berkurang atau bahkan habis. Lantas bagaimanakah nasib mereka setelah itu. Pola pikir ini terbentuk oleh kehidupan dan arus meterialis. Maka cara dan pola ukur standar yang digunakan menaksir juga meteri.

Memang materi apabila diambil terus akan berkurang. Namun sadarkah mereka bahwa materi ini adalah karunia Allah. Dan hanya di tangan Allah lah hak menambah dan merenungi atau menurunkan berkah dan rahmat-Nya kepada hamba-Nya. Bukankah Allah menjanjikannya? (Q.S Ibrahim:7).

Pola pikir di atas mengkristal karena mareka merasa bahwa merekalah yang mendapatkan kekayaan. Padahal dalam bahasa sunnah Allah, manusia tidak pernah mendapat namun ‘menerima’. Mereka hanya menerima pembagian Allah lewat malaikat. Jika logika setiap yang berusaha pasti ‘dapat’ tentulah tak ada orang miskin dan fakir kecuali yang malas. Sedangkan realita menuturkan bahwa hanya hadh (bagian/nasib) saja yang belum berpihak pada si fakir. Sementara berapa banyak orang kaya karena keturunan, kedekatan, dan persahabatan. Meski ada juga yang start dari titik nol.

Zakat, baik mal (harta) dan fitrah mendidik seorang muslim merasakan nasib saudaranya yang belum beruntug. Setelah ditempa dalam madrasah kesabaran, madrasah perjuangan dan pusat tela’ah al-Qur’an, dan madrasah tahunan ‘Ramadhan’.

Sarana yang diberikan Allah adalah terjemah nyata berdimensi sosial setelah manusia terbina dari dalam lewat salat, rutinitas harian yang berfungsi komunikasi vertikal dan lewat puasa, rutinitas tahunan sebagai ajang perlombaan dalam kebaikan. Zakat merupakan dimensi amal yang lebih bersifat interaksi keluar (sosial) di samping, tentunya merupakan ibadah. Karena terbukti ada perbedaan antara zakat wajib, sedekah sunah, hibah, hadiah, dll. Semuanya yang membedakan adalah niat dari seseorang.

Zakat tak lain, merupakan transfer sumber daya alam sebagian anggota masyarakat yang mampu ke saudaranya yang kurang mampu. Ia ibarat memindah sebagian isi dari genggaman tangan kanan ke tangan kiri yang masih kosong atau ada isinya, namun hanya sebutir atau dua butir. Kedua tangan ini adalah anggota tubuh seorang manusia. Demikian juga kedua nasib anak manusia yang berbeda (kaya/miskin) keduanya adalah satu tubuh dalam tatanan sosial.

Hal inilah yang dijadikan sasaran ibadah zakat, sense of solidarity. Inilah yang hilang dari tatanan masyarakat yang tercekoki mode materialis. Yang mengukur harga manusia lewat pangkat dan jabatan, standar kekayaan dan simpanan di bank, cantik dan tampan, dan strata sosial lewat tingginya pendidikan formal. Jarang yang mau mengukur senyawa manusia yang berupa akhlak dan budi pekerti. Kesalahan individulah yang mampu menahan seseorang untuk tidak menelan harta masyarakat meski saat itu ia hanya berteman bangku-bangku kantor.

Zakat adalah model alternatif yang dijadikan masyarakat muslim sebagai refleksi solidaritas yang tidak perlu lagi menggantungkan diri dengan struktur sistem ekonomi ribawi. karena mereka bagaikan satu badan sebagaimana dibahasakan sabda Rasul saw. atau pantulan cahaya ilahi yang membahasakannya lewat Q.S al-Hujurat:10, “sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara”. Ikatan imam seorang mukmin dengan mukmin lainnya disamakan dengan ikatan kekeluargaan. Tak heran jika proses berdirinya masyarakat madani di Madinah pertama kali di bangun atas dasar kokohnya ruh ukhuwah (jiwa persaudaraan).


Tidak ada komentar: