Minggu, 14 Oktober 2012

Strategi Implementasi Pendidikan Karakter Di Sekolah


Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar karena didukung oleh sejumlah fakta positif di antaranya posisi geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. 



Namun demikian, untuk mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi berbagai masalah nasional yang kompleks, yang tidak kunjung selesai. Misalnya aspek politik, di mana masalahnya mencakup kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, kelembagaan Negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung, dan berkembangnya pragmatisme politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi paradigm ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan fiskal yang belum mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak, dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, masalah yang terjadi saat ini adalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan, disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial, dan melemahnya mentalitas positif (PP Muhammadiyah, 2009: 10-22).

Terlebih aspek pendidikan, sejak usia dini, bahkan usia TK, anak-anak Indonesia sudah wajib diajarkan agama di sekolah, dan ketika di SD sampai SMA dan Univesitas, wajib mengikuti pelajaran Pancasila dan sejenisnya. Namun kalau kita lihat perilaku remaja kita yang gemar mencontek, kebiasaan bullying di sekolah, tawuran, termasuk perilaku orang dewasa yang juga senang dengan konflik dan kekerasan (tawuran antar kampung, dsb), serta perilaku korupsi yang merajalela, ternyata seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkannya, tidak berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia. Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten, lain yang dibicarakan, dan lain pula tindakannya. Fakta ini menunjukan bahwa ada kegagalan pada institusi pendidikan kita dalam halmenumbuhkan manusia Indonesia yang berkarakter atau berakhlak mulia. Karena apa yang diajarkan di sekolah tentang pengetahuan agama dan pendidikan Pancasila belum berhasil membentuk manusia yang berkarakter. Padahal apabila kita tilik isi dari pelajaran agama dan Pancasila, semuanya bagus, dan bahkan kita bisa memahami dan menghafal apa maksudnya.
Oleh karena itu, pendidikan yang diharapkan harus berbasis pada upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik dilihat dari aspek jasmani maupun ruhani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah“… agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Namun demikian, apakah sekolah mampu untuk melakukannya, terutama setelah melihat hasil pendidikan kita yang kelihatannya gagal untuk membentuk karakter. Karena masalah pembentukan karakter adalah erat kaitannya dengan menyiapkan internal/batin individu yang senantiasa berpikir baik, berhati baik, dan bertindak baik. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional memang sudah mencanangkan bahwa pendidikan karakter sejak tahun 2010 ini harus sudah bisa diterapkan di seluruh jenjang pendidikan, dan ini adalah sebuah tantangan yang amat besar. Mencermati hal ini, saya mencoba memberikan beberapa gagasan bagaimana mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah sehingga mampu membentuk pribadi yang kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada strategi keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun masyarakat.

Peran Pendidikan
Tujuan utama pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang good and smart. Atau dalam Islam mengupayakan agar manusia memiliki karakter yang baik (good character). Dalam  bahasa sederhana, merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahun, sikap dan keterampilan.
Pendidikan merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Pendidikan itu tidak selalu berasal dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tersebut. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah, namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar, memiliki ’ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan moralitas dan prilaku sosial pelajar (Suyanto dan Hisyam, 2000: 194).
Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah pendidik dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase negatif, yang meliputi keinginan untuk menyendiri, kurang kemauan untuk bekerja, mengalami kejenuhan, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sosial, ada kepekaan emosional, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal (Mappiare dalam Suyanto dan Hisyam, 2000: 186-87). Dengan mempelajari gejala-gejala negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak dalam proses pendidikan formal, non formal dan informal.

Pendidikan Karakter
Berbicara pembentukan kepribadian tidak lepas dengan bagaimana kita membentuk karakter SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional dan global (Muchlas dalam Sairin, 2001: 211). Tantangan regional dan global yang dimaksud adalah bagaimana generasi muda kita tidak sekedar memiliki kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter diperlukan untuk mencapai manusia yang memiliki integritas nilai-nilai moral sehingga anak menjadi hormat sesama, jujur dan peduli dengan lingkungan.
Lickona (1992) menjelaskan beberapa alasan perlunya pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran pada nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, masyarakat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima seperti perhatian, kepercayaan, rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi memiliki kebutuhan khusus untuk pendidikan moral karena demokrasi merupakan peraturan dari, untuk dan oleh masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu sebagai pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus menjadi guru yang baik, dan (8) Pendidikan karakter yang efektif membuat sekolah lebih beradab, peduli pada masyarakat, dan mengacu pada performansi akademik yang meningkat.
Alasan-alasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin untuk mengantisipasi persoalan di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet (2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter adalah upaya terencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa.
Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yang ada di pendidikan formal, non formal dan informal harus mengajarkan peserta didik atau anak untuk saling peduli dan membantu dengan penuh keakraban tanpa diskriminasi karena didasarkan dengan nilai-nilai moral dan persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik dan tokoh panutan sangat membantu membentuk karakter peserta didik atau anak.

Strategi Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah tersedianya kurikulum berbasis Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005).
  1. Segala sesuatu di sekolah diatur berdasarkan perkembangan hubungan antara siswa, guru, dan masyarakat
  2. Sekolah merupakan masyarakat peserta didik yang peduli di mana ada ikatan yang jelas yang menghubungkan siswa, guru, dan sekolah
  3. Pembelajaran emosional dan sosial setara dengan pembelajaran akademik
  4. Kerjasama dan kolaborasi di antara siswa menjadi hal yang lebih utama dibandingkan persaingan
  5. Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di dalam maupun di luar kelas
  6. Siswa-siswa diberikan banyak kesempatan untuk mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-kegiatan seperti pembelajaran memberikan pelayanan
  7. Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi fokus dalam memecahkan masalah dibandingkan hadiah dan hukuman
  8. Model pembelajaran yang berpusat pada guru harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi di mana guru dan siswa berkumpul untuk membangun kesatuan, norma, dan memecahkan masalah
Lalu, adanya peran lembaga pendidikan atau sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan karakter mencakup (1) mengumpulkan guru, orangtua dan siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) memberikan pelatihan bagi guru tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan masyarakat agar siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting untuk keberhasilan di sekolah dan di kehidupannya, dan (4) memberikan kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan masyarakat untuk menjadi model prilaku sosial dan moral (US Department of Education).
Upaya atau strategi lainnya adalah menciptakan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan. Lingkungan yang nyaman dan menyenangkan adalah mutlak diciptakan agar karakter anak dapat dibentuk. Hal ini erat kaitannya dengan pembentukan emosi positif anak, dan selanjutnya dapat mendukung proses pembentukan empati, cinta, dan akhirnya nurani/batin anak.
Meningkatkan guru yang kompeten dan berkarakter adalah strategi lain, namun untuk menjadikan guru yang seperti itu perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan di antaranya: (1) Teori tentang Pentingnya Pendidikan Karakter, (2) Teori dan Implementasi Pendidikan 9 Pilar Karakter secara eksplisit; knowing the good, reasoning the good, feeling the good, and acting the good, (3) Prinsip dan penerapan Brain-based Learning, (4) Penerapan Developmentally Appropriate Practices, (5) Penerapan Multiple Intelligences, (6) Prinsip dan Penerapan Character-based Integrated Learning, (7) Prinsip dan Penerapan Cooperative Learning, (8) Komunikasi Positif dan Efektif, (9)  Prinsip dan Penerapan Student Active Learning, Contextual Learning, dan Project-based Learning, (10) Delapan Prinsip Belajar Membaca Menyenangkan, (11) Prinsip dan Penerapan Inquiry-based Learning, (12) Fun Story Telling, (13) Manajemen Kelas, (14) Penerapan sistem Sentra, (15) Character-based Co-Parenting, dan (16) Training Motivasi.
Tersedianya Character-based Teaching Aids (Alat Bantu Mengajar Berbasis Karakter) merupakan bagian penting lainnya dalam rangka implementasi pendidikan karakter. Selain pemberian pengetahuan dan keterampilan pembelajaran karakter, guru juga harus dibekali alat bantu mengajar seperti modul, kurikulum, lesson plan, permainan edukatif, dan buku-buku cerita. Tanpa alat bantu ini, akan sulit bagi guru untuk menerapkan ilmu yang telah dipelajarinya.
Terakhir adalah adanya kerjasama antara sekolah dengan orangtua. Orangtua dilibatkan secara aktif didalam usaha pengembangan karakter anak. Salah satu faktor keberhasilan pendidikan karakter adalah adanya konsistensi antara sekolah dan rumah mengenai penerapan pilar-pilar karakter yang ditanamkan. Sekolah Karakter selalu mengadakan sosialisasi mengenai visi/misi dan filosofi pendidikan yang diterapkan di Sekolah Karakter. Pada awal tahun ajaran baru pihak sekolah mewajibkan orangtua untuk mengikuti seminar yang diadakan pihak sekolah. Selain itu, secara berkala pihak sekolah mengadakan seminar parenting education. Hal ini dilakukan agar para orangtua mengerti mengenai praktik-praktik pengasuhan yang berbahaya bagi pengembangan karakter anak. Para orangtua juga dihimbau untuk membaca buku-buku tentang Pendidikan Karakter, yang memberikan petunjuk bagaimana menanamkan karakter pada anak. Dengan adanya kerjasama ini ternayata banyak orangtua yang mengaku banyak belajar bagaimana menjadi orangtua yang baik, dan bahkan merasakan bahwa karakternya juga semakin baik, dan banyak belajar mengenai perilakuperilaku akhlak mulia dari anak-anaknya.
Dari strategi yang disebut di atas, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga strategi utama dalam pendidikan karakter, di antaranya: (1) membekali siswa dengan alat dan media untuk memiliki pengetahuan, kemauan dan keterampilan; (2) membekali siswa pemahaman tentang berbagai kompetensi tentang nilai dan moral; (3) membiasakan siswa untuk selalu melakukan keterampilan-keterampilan berperilaku baik.

Penutup
Sebagai akhir dari makalah sederhana ini, sekolah memiliki tanggungjawab dalam membentuk karakter bangsa, memiliki tugas dalam menyiapkan potensi diri dan peluang lingkungan agar siswa memiliki pengetahuan yang luas, memiliki kedalaman apresiasi, dan terampil dalam membiasakan perilaku-perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai, moral dan ahlaq yang dianut masyarakat dan bangsanya yang beradab. Oleh karena itu, pembangunan pendidikan yang sedang kita lakukan seharusnya menyentuh paradigma sistem pendidikan yang universal. Pembangunan pendidikan yang tidak berbasis pendidikan karakter telah terbukti hanya menghasilkan SDM yang bersifat mekanis dan kurang kreatif.
Untuk mempersiapkan perilaku-perilaku siswa yang berkarakter, diperlukan strategi implementasi pendidikan karakter di sekolah, di antaranya: tersedianya kurikulum berbasis holistik, adanya peran lembaga yang proaktif, menciptakan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan, terpenuhinya guru yang kompeten dan berkarakter, tersedianya alat bantu pembelajaran yang berkarakter, dan adanya kerjasama sekolah dengan orangtua.

PENULIS : 
Prof. Dr. H. Suyatno, M.Pd ( Rektor UHAMKA ) 

Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Agama, Budaya, dan Pendidikan Karakter Bangsa. 2006
Djalil, Sofyan A. dan Megawangi, Ratna. Peningkatan Mutu Pendidikan di Aceh melalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter. Makalah Orasi Ilmiah pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis ke 45 Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 2 September 2006.
Elkind, David H. dan Sweet, Freddy. How to Do Character Education. Artikel yang diterbitkan pada bulan September/Oktober 2004.
Irianto, Yoyon Bahtiar. Strategi Manajemen Pendidika Karakter. Proceedings of The 4th International Conference on Teacher Education; Join Conference UPI & UPSI, 8-10 November 2010.
Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001.
Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books, 1992.
Lickona, Tom; Schaps, Eric, dan Lewis, Catherine. Eleven Principles of Effective Character Education. Character Education Partnership, 2007.
Megawangi, Ratna. Pengembangan Program Pendidikan Karakter di Sekolah: Pengalaman Sekolah Karakter, 2010.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa. Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2009.
Sairin, Weinata. Pendidikan yang Mendidik. Jakarta: Yudhistira, 2001
Suyanto dan Hisyam, Djihad. Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III: Refleksi dan Reformasi. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000.
Suyatno; Sumedi, Pudjo, dan Riadi, Sugeng (Editor). Pengembangan Profesionalisme Guru: 70 Tahun Abdul Malik Fadjar. Jakarta: UHAMKA Press, 2009.
U. S. Department of Education. Office of Safe and Drug-Free Schools. 400 Maryland Avenue, S.W. Washington, DC.


Tidak ada komentar: